PESONA BIDADARI DIBALIK
SOSOK IBU
Perbandingan
Intertekstualitas
Legenda
Sangkuriang dan Oidipus Sang Raja
Oleh
Heni
Ismawati
Kuwarsih
Nita
Oktarina
“Hitam meracau
menghendaki putih enyah, sementara di dunianya putih berpeluh menyingkirkan
noda dan dosa-dosa hitam”
Itulah
sekelumit sajak yang terkandung bisikan nilai-nilai kehidupan. Sekuat-kuatnya
manusia berusaha tak mampu menentang takdir semesta. Segala Insan tak kuasa
mengelak goresan pena sang pemilik jagad raya.
Sosok
ibu merupakan figur yang berharga untuk anak-anaknya. Hakikat seorang anak senantiasa menjaga, menghormati, dan
memuliakan ibu yang telah melahirkan ke dunia. Kodrat seorang anak berbakti
kepada sang ibu. “Welas asih” anak
kepada ibu tidak boleh melampui batas dalam konteks budaya yang berlaku.
Konsekuensi seorang anak jika melanggar aturan budaya maka sang maha raja pencipta
kehidupan akan murka dan tertumpahlah bencana di dunia fana.
Goresan
pena ini menumpahkan perbandingan intertekstualitas legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja. Kajian ini berangkat dari teori Bricolage, yaitu
menganalisis intertekstualitas dua buah karya sastra yang memiliki persamaan.
Persamaan yang ada dalam kajian ini adalah masalah substansi cerita legenda
karya sastra yang mengarah pada tokoh sentral kedua cerita tersebut. Kedua
karya sastra yang dibandingkan memiliki cerita yang sama, yaitu seorang anak
mencintai ibunya melebihi cinta kepada ibu.
Sangkuriang adalah
legenda yang mengisahkan asal-usul terbentuknya gunung Tangkuban Perahu.
Legenda Sangkuriang merupakan sebuah
kejadian diluar nalar manusia yang ingin menikahi ibu kandungnya sendiri. Dalam
hidupnya Sangkuriang adalah anak yang patuh terhadap orang tua. Ia melakukan
hal yang diinginkan oleh orang tuanya, untuk pergi ke hutan berburu rusa.
Namun, Sangkuriang mendapatkan babi yang pada dasarnya adalah bapak kandungnya
sendiri. Dayang Sumbipun mengetahuinya, kemudian mengusir Sangkuriang. Lambat laun
mereka bertemu kembali tetapi dalam kondisi dimana Sangkuriang mencintai ibunya
sendiri. Dayang Sumbipun menolak, sementara itu Sangkuriang terus melakukan
cara untuk menikahi Dayang Sumbi. Kemudian Dayang Sumbi memberikan syarat kepada
Sangkuriang untuk membuat bendungan. Pada akhirnya, Dayang Sumbi menggagalkan
usaha Sangkuriang.
Legenda
Oidipus Sang Raja mengisahkan sebuah tragedi
tentang usaha manusia untuk mengelak dari takdir, namun sia-sia. Ketika lahir Oidipus
dibuang agar mati, karena diramalkan kelak ia akan membunuh ayahnya dan menikah
dengan ibu kandungnya. Ternyata Oidipus tidak mati dalam pembuangan dan dalam
suatu pengembaraan ia bertemu dengan seorang tua yang hendak menganiayanya.
Oidipus membela diri dengan terpaksa membunuh orang itu. Ia tak tahu bahwa
orang itu sesungguhnya ayah kandungnya sendiri, dan karena ia berjasa kepada
rakyat Thebes, ia pun diberi amanah menjadi raja.
Gejala
intertekstualitas menurut Levi Strauss ada 4 gejala dalam intertekstualitas,
yaitu adisi, subtitusi, delisi dan transposisi.
1. Adisi
merupakan penambahan cerita
2. Subtitusi
merupakan penggantian
3. Delisi
merupakan penghapusan
4. Transposisi
merupakan pertukaran posisi
Adisi
dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu pada
tokoh sangkuriang titisan sepasang
dewa-dewi sedangkan Oidipus bukan titisan dari dewa. Adapun adisi lain, yakni
pada tokoh Jocasta pada legenda Oidipus
Sang Raja dia tidak melakukan pertapaan, sedangkan pada legenda Sangkuriang tokoh Dayang Sumbi tak lain
dari ibu kandung Sangkuriang melakukan pertapaan untuk memperoleh ketenangan
batin dan mendapat petunjuk keberadaan Sangkuriang. Selain itu, adisi lain
nampak pada sebuah syarat yang harus dipenuhi sebelum menikahi Dayang Sumbi
oleh Sangkuriang, yaitu membendung sungai Citarum dan membuat perahu, sedangkan
Oidipus menikahi Jocasta tidak ada syarat apapun.
Subtitusi
dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu
pada tokoh Sangkuriang memiliki ciri cacat tubuh dibagian kepalanya, sedangkan
pada tokoh Oidipus memiliki ciri cacat tubuh di bagian kaki. Hal lain dari
subtitusi kedua karya sastra tersebut, yakni pada tokoh Dayang Sumbi mengakhiri
hidupnya dengan menjelma diri menjadi bunga Japsi untuk selamanya sedangkan tokoh Jocasta mengakhiri hidupnya
dengan bunuh diri. Selain itu, dalam cerita Sangkuriang
tokoh Sangkuriang semasa kecil diusir oleh Dayang Sumbi karena membunuh
ayah kandungnya (Tumang si Anjing), sedangkan pada cerita Oidipus Sang Raja ketika lahir oidipus dibuang agar mati karena di
ramalkan ia kelak akan membunuh anaknya dan menikah dengan ibu kandungnya.
Delisi
dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu
pada tokoh Sangkuriang dia bukanlah seorang raja, sedangkan Oidipus adalah
keturunan dari raja dan menjadi raja Thebes. Penghapusan juga terjadi pada
cerita Sangkuriang, dia diusir dan hidup sendiri, sedangkan Oidipus Sang Raja telah diasuh oleh Raja
Polybus dan Ratu Merope dari bayi hingga menjadi dewasa, pada tokoh Sangkuriang
dia tidak dapat menikahi ibunya, sedangkan tokoh Oidipus menikahi dan mempunyai
seorang anak dari ibu kandungnya sendiri. Selain itu delisi lain pada legenda
Sangkuriang tidak mengenal ramalan, sedangkan pada legenda Oidipus Sang Raja meyakini ramalan dewa Apollo.
Transposisi
dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu
pada tokoh Sangkuriang, dia membunuh ayahnya pada saat ia masih anak-anak,
sedangkan pada tokoh Oidipus dia membunuh ayah kandungnya pada saat ia sudah
dewasa. Pertukaran posisi juga terjadi pada tokoh Sangkuriang dia mengalami moment jatuh cinta di akhir cerita,
kemudian tokoh Oidipus mengalami moment jatuh
cinta di awal cerita. Selain itu peristiwa pembunuhan telah terungkap di awal
cerita Sangkuriang, sedangkan pada
cerita Oidipus Sang Raja terungkap di
akhir cerita.
Kemunculan legenda Oidipus Sang Raja maupun Sangkuriang
, yang pertama yaitu kisah Oidipus
yang terjadi pada 450 tahun SM, Sedangkan
sangkuriang pada tahun 15-16 tahun SM.
Hal ini juga dipengaruhi oleh budaya yunani yang berkembang lebih dahulu,
pengetahuan berkembang dan maju di era yunani yang banyak terdapat ilmuan,
sedangkan kisah atau cerita Sangkuriang merupakan cerita yang termasuk dalam
kawasan Asia karena selain letak, ciri karya yang berasal dari Asia adalah
terdapat unsur mistik. Jelas bahwa kisah Sangkuriang interteks dengan
Sangkuriang karena memiliki unsur kesamaan maupun perbedaan.
Konteks
budaya pada legenda Oidipus Sang Raja
terpusat pada kebudayaan yang masih percaya adanya dewa, memuja dewa, menjalani
kehidupan berdasarkan ramalan-ramalan, budaya yunani kuno yang sangat kental
didalamnya. Legenda Oidipus Sang Raja
merupakan kisah manusia yang mengelak dari takdir namun sia-sia. Pada kisah Oidipus juga diceritakan
mengenai kehidupan raja dan berbagai polemik yang ada dalam kerajaan. Sedangkan
konteks budaya pada kisah Sangkuriang diwarnai dengan kepercayaan mistis pada
saat Dayang Sumbi meminta untuk menjadi bunga, kemudian jadi bunga sesungguhnya
yaitu bunga japsi.
Sisi filosofis dari kedua cerita yaitu dari segi
percintaan, kedua cerita sama-sama mencintai ibu mereka padahal hal itu
berlawanan dengan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kehidupan
masyarakat apabila melakukan pernikahan dengan ibu kandung selain akan mendapat
sanksi sosial dalam masyarakat, juga akan mendapat sanksi dari alam karena
budaya masyarakat masih percaya bahwa pernikahan adalah hal yang suci dan tidak
diijinkan untuk menikahi sesama saudara apalagi sampai menikahi ibu kandung
sendiri. Dalam legenda Oidipus Sang Raja berbagai
budaya ditonjolkan yaitu budaya yunani kuno yang sangat kental dengan ramalan dewa yang harus
dipenuhi. Dalam legenda Sangkuriang
juga menonjolkan budaya mistis yaitu diwarnai dengan kepercayaan dan budaya
menjelma menjadi sesuatu, misalnya Dayang Sumbi menjelma menjadi bunga. Kedua konteks budaya dari
masing-masing cerita memiliki kekuatan masing-masing karena memiliki
kompleksitas budaya yang sama-sama kuat.
Kependidikan
perempuan pada legenda Oidipus Sang Raja
perempuan menempati kedudukan yang cenderung berwibawa dengan sedikit
berbicara, lemah lembut. Pada
legenda Sangkuriang perempuan (Dayang
Sumbi) disegani banyak raja-raja tapi menolak berarti Dayang Sumbi mempunyai
prinsip dalam hidupnya, perempuan yang lemah lembut, disegani oleh semua orang,
serta sering bertapa untuk hidupnya agar awet muda, tegas.
Konsep feminisme yang berbeda dari masing-masing cerita
karena perbedaan budaya, dari cerita Oidipus posisi atau kedudukan perempuan
cenderung tidak banyak memberikan argumen, pendapat dan memiliki wibawa sebagai
ratu, sedangkan pada cerita Sangkuriang, Dayang Sumbi memiki prinsip hidup yang kuat, dia tidak mudah terpengaruh hasutan lelaki yang
menginginkannya menjadikan istri. Kepribadian Dayang Sumbi yang sering melakukan pertapaan untuk mendapatkan sesuatu
mencerminkan bahwa watak Dayang Sumbi ambisius terhadap hal yang ia inginkan.
Feminisme dari kedua cerita baik Oidipus maupun Sangkuriang masing-masing memiliki corak tersendiri. Pada
hakikatnya,
wanita atau perempuan adalah sesosok yang lemah-lembut dan pandai menyimpan
intrik dalam dirinya sendiri, wanita merupakan sosok yang dibanggakan bagi
pria. Dibalik pria hebat pasti terdapat perempuan yang dua kali lebih hebat
dari pria.
Berdasarkan
kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat intertekstualitas antara
legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya masa periode kemunculan kedua cerita, ringkasan
cerita, teori Bricolage (adisi, substitusi, delisi, dan transposisi), konteks
budaya, nilai filosofis, dan sisi feminisme (kedudukan perempuan) dari kedua
cerita tersebut.