Rabu, 11 Desember 2013

KAJIAN INTERTEKSTUALITAS



PESONA BIDADARI DIBALIK SOSOK IBU
Perbandingan Intertekstualitas
Legenda Sangkuriang dan Oidipus Sang Raja

Oleh

Heni Ismawati
Kuwarsih
Nita Oktarina


“Hitam meracau menghendaki putih enyah, sementara di dunianya putih berpeluh menyingkirkan noda dan dosa-dosa hitam”

Itulah sekelumit sajak yang terkandung bisikan nilai-nilai kehidupan. Sekuat-kuatnya manusia berusaha tak mampu menentang takdir semesta. Segala Insan tak kuasa mengelak goresan pena sang pemilik jagad raya.
Sosok ibu merupakan figur yang berharga untuk anak-anaknya. Hakikat seorang anak  senantiasa menjaga, menghormati, dan memuliakan ibu yang telah melahirkan ke dunia. Kodrat seorang anak berbakti kepada sang ibu. “Welas asih” anak kepada ibu tidak boleh melampui batas dalam konteks budaya yang berlaku. Konsekuensi seorang anak jika melanggar aturan budaya maka sang maha raja pencipta kehidupan akan murka dan tertumpahlah bencana di dunia fana.
Goresan pena ini menumpahkan perbandingan intertekstualitas legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja. Kajian ini berangkat dari teori Bricolage, yaitu menganalisis intertekstualitas dua buah karya sastra yang memiliki persamaan. Persamaan yang ada dalam kajian ini adalah masalah substansi cerita legenda karya sastra yang mengarah pada tokoh sentral kedua cerita tersebut. Kedua karya sastra yang dibandingkan memiliki cerita yang sama, yaitu seorang anak mencintai ibunya melebihi cinta kepada ibu.
Sangkuriang adalah legenda yang mengisahkan asal-usul terbentuknya gunung Tangkuban Perahu. Legenda Sangkuriang merupakan sebuah kejadian diluar nalar manusia yang ingin menikahi ibu kandungnya sendiri. Dalam hidupnya Sangkuriang adalah anak yang patuh terhadap orang tua. Ia melakukan hal yang diinginkan oleh orang tuanya, untuk pergi ke hutan berburu rusa. Namun, Sangkuriang mendapatkan babi yang pada dasarnya adalah bapak kandungnya sendiri. Dayang Sumbipun mengetahuinya, kemudian mengusir Sangkuriang. Lambat laun mereka bertemu kembali tetapi dalam kondisi dimana Sangkuriang mencintai ibunya sendiri. Dayang Sumbipun menolak, sementara itu Sangkuriang terus melakukan cara untuk menikahi Dayang Sumbi. Kemudian Dayang Sumbi memberikan syarat kepada Sangkuriang untuk membuat bendungan. Pada akhirnya, Dayang Sumbi menggagalkan usaha Sangkuriang.
Legenda Oidipus Sang Raja mengisahkan sebuah tragedi tentang usaha manusia untuk mengelak dari takdir, namun sia-sia. Ketika lahir Oidipus dibuang agar mati, karena diramalkan kelak ia akan membunuh ayahnya dan menikah dengan ibu kandungnya. Ternyata Oidipus tidak mati dalam pembuangan dan dalam suatu pengembaraan ia bertemu dengan seorang tua yang hendak menganiayanya. Oidipus membela diri dengan terpaksa membunuh orang itu. Ia tak tahu bahwa orang itu sesungguhnya ayah kandungnya sendiri, dan karena ia berjasa kepada rakyat Thebes, ia pun diberi amanah menjadi raja.
Gejala intertekstualitas menurut Levi Strauss ada 4 gejala dalam intertekstualitas, yaitu adisi, subtitusi, delisi dan transposisi.
1.      Adisi merupakan penambahan cerita
2.      Subtitusi merupakan penggantian
3.      Delisi merupakan penghapusan
4.      Transposisi merupakan pertukaran posisi
Adisi dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu pada tokoh sangkuriang titisan sepasang dewa-dewi sedangkan Oidipus bukan titisan dari dewa. Adapun adisi lain, yakni pada tokoh Jocasta pada legenda Oidipus Sang Raja dia tidak melakukan pertapaan, sedangkan pada legenda Sangkuriang tokoh Dayang Sumbi tak lain dari ibu kandung Sangkuriang melakukan pertapaan untuk memperoleh ketenangan batin dan mendapat petunjuk keberadaan Sangkuriang. Selain itu, adisi lain nampak pada sebuah syarat yang harus dipenuhi sebelum menikahi Dayang Sumbi oleh Sangkuriang, yaitu membendung sungai Citarum dan membuat perahu, sedangkan Oidipus menikahi Jocasta tidak ada syarat apapun.
Subtitusi dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu pada tokoh Sangkuriang memiliki ciri cacat tubuh dibagian kepalanya, sedangkan pada tokoh Oidipus memiliki ciri cacat tubuh di bagian kaki. Hal lain dari subtitusi kedua karya sastra tersebut, yakni pada tokoh Dayang Sumbi mengakhiri hidupnya dengan menjelma diri menjadi bunga Japsi untuk selamanya  sedangkan tokoh Jocasta mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Selain itu, dalam cerita Sangkuriang tokoh Sangkuriang semasa kecil diusir oleh Dayang Sumbi karena membunuh ayah kandungnya (Tumang si Anjing), sedangkan pada cerita Oidipus Sang Raja ketika lahir oidipus dibuang agar mati karena di ramalkan ia kelak akan membunuh anaknya dan menikah dengan ibu kandungnya.
Delisi dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu pada tokoh Sangkuriang dia bukanlah seorang raja, sedangkan Oidipus adalah keturunan dari raja dan menjadi raja Thebes. Penghapusan juga terjadi pada cerita Sangkuriang, dia diusir dan hidup sendiri, sedangkan Oidipus Sang Raja telah diasuh oleh Raja Polybus dan Ratu Merope dari bayi hingga menjadi dewasa, pada tokoh Sangkuriang dia tidak dapat menikahi ibunya, sedangkan tokoh Oidipus menikahi dan mempunyai seorang anak dari ibu kandungnya sendiri. Selain itu delisi lain pada legenda Sangkuriang tidak mengenal ramalan, sedangkan pada legenda Oidipus Sang Raja meyakini ramalan dewa Apollo.
Transposisi dari legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja diantaranya, yaitu pada tokoh Sangkuriang, dia membunuh ayahnya pada saat ia masih anak-anak, sedangkan pada tokoh Oidipus dia membunuh ayah kandungnya pada saat ia sudah dewasa. Pertukaran posisi juga terjadi pada tokoh Sangkuriang dia mengalami moment jatuh cinta di akhir cerita, kemudian tokoh Oidipus mengalami moment jatuh cinta di awal cerita. Selain itu peristiwa pembunuhan telah terungkap di awal cerita Sangkuriang, sedangkan pada cerita Oidipus Sang Raja terungkap di akhir cerita.
Kemunculan legenda Oidipus Sang Raja maupun Sangkuriang , yang pertama yaitu kisah Oidipus yang terjadi pada 450 tahun SM, Sedangkan sangkuriang pada tahun 15-16 tahun SM. Hal ini juga dipengaruhi oleh budaya yunani yang berkembang lebih dahulu, pengetahuan berkembang dan maju di era yunani yang banyak terdapat ilmuan, sedangkan kisah atau cerita Sangkuriang merupakan cerita yang termasuk dalam kawasan Asia karena selain letak, ciri karya yang berasal dari Asia adalah terdapat unsur mistik. Jelas bahwa kisah Sangkuriang interteks dengan Sangkuriang karena memiliki unsur kesamaan maupun perbedaan.
Konteks budaya pada legenda Oidipus Sang Raja terpusat pada kebudayaan yang masih percaya adanya dewa, memuja dewa, menjalani kehidupan berdasarkan ramalan-ramalan, budaya yunani kuno yang sangat kental didalamnya. Legenda Oidipus Sang Raja merupakan kisah manusia yang mengelak dari takdir namun sia-sia. Pada kisah Oidipus juga diceritakan mengenai kehidupan raja dan berbagai polemik yang ada dalam kerajaan. Sedangkan konteks budaya pada kisah Sangkuriang diwarnai dengan kepercayaan mistis pada saat Dayang Sumbi meminta untuk menjadi bunga, kemudian jadi bunga sesungguhnya yaitu bunga japsi.
Sisi filosofis dari kedua cerita yaitu dari segi percintaan, kedua cerita sama-sama mencintai ibu mereka padahal hal itu berlawanan dengan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat apabila melakukan pernikahan dengan ibu kandung selain akan mendapat sanksi sosial dalam masyarakat, juga akan mendapat sanksi dari alam karena budaya masyarakat masih percaya bahwa pernikahan adalah hal yang suci dan tidak diijinkan untuk menikahi sesama saudara apalagi sampai menikahi ibu kandung sendiri. Dalam legenda Oidipus Sang Raja berbagai budaya ditonjolkan yaitu budaya yunani kuno yang sangat kental dengan ramalan dewa yang harus dipenuhi. Dalam legenda Sangkuriang juga menonjolkan budaya mistis yaitu diwarnai dengan kepercayaan dan budaya menjelma menjadi sesuatu, misalnya Dayang Sumbi menjelma menjadi bunga. Kedua konteks budaya dari masing-masing cerita memiliki kekuatan masing-masing karena memiliki kompleksitas budaya yang sama-sama kuat.
Kependidikan perempuan pada legenda Oidipus Sang Raja perempuan menempati kedudukan yang cenderung berwibawa dengan sedikit berbicara, lemah lembut. Pada legenda Sangkuriang perempuan (Dayang Sumbi) disegani banyak raja-raja tapi menolak berarti Dayang Sumbi mempunyai prinsip dalam hidupnya, perempuan yang lemah lembut, disegani oleh semua orang, serta sering bertapa untuk hidupnya agar awet muda, tegas.
Konsep feminisme yang berbeda dari masing-masing cerita karena perbedaan budaya, dari cerita Oidipus posisi atau kedudukan perempuan cenderung tidak banyak memberikan argumen, pendapat dan memiliki wibawa sebagai ratu, sedangkan pada cerita Sangkuriang, Dayang Sumbi memiki prinsip hidup yang kuat, dia tidak mudah terpengaruh hasutan lelaki yang menginginkannya menjadikan istri. Kepribadian Dayang Sumbi yang sering melakukan pertapaan untuk mendapatkan sesuatu mencerminkan bahwa watak Dayang Sumbi ambisius terhadap hal yang ia inginkan.
Feminisme dari kedua cerita baik Oidipus maupun Sangkuriang masing-masing memiliki corak tersendiri. Pada hakikatnya, wanita atau perempuan adalah sesosok yang lemah-lembut dan pandai menyimpan intrik dalam dirinya sendiri, wanita merupakan sosok yang dibanggakan bagi pria. Dibalik pria hebat pasti terdapat perempuan yang dua kali lebih hebat dari pria.
Berdasarkan kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat intertekstualitas antara legenda Sangkuriang dengan Oidipus Sang Raja. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya masa periode kemunculan kedua cerita,  ringkasan cerita, teori Bricolage (adisi, substitusi, delisi, dan transposisi), konteks budaya, nilai filosofis, dan sisi feminisme (kedudukan perempuan) dari kedua cerita tersebut.